Rabu, 09 Oktober 2024

 




Matematika itu menakutkan atau menyenangkan ?

Hai kenalkan saya Rahmat Septria guru di salah satu SMP Negeri di Kota Jambi. Saya mengajar pelajaran Matematika di kelas 8 dan 9. Menurut siswa yang saya ampu, matematika adalah pelajaran yang sangat menakutkan.

Rabu, 24 Februari 2016

Jenis-Jenis Akhlak, Dan Sistem Penilaiannya Serta Baik Buruk Menurut Ajaran Islam

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Jenis-jenis akhlak, dan sistem penilaiannya  serta baik buruk menurut ajaran islam”. Makalah yang kami susun ini merupakan salah satu tugas mata kuliah AKHLAK TASAWUF. Informasi atau materi yang kami paparkan diperoleh dari berbagai sumber-sumber yakni dari berbagai buku dan ditambah berbagai redaksi dari internet. Kami menyadari, makalah yang kami susun masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari berbagai pihak. Sebagai manusia biasa, kami berusaha dengan sebaik-baiknya  dan semaksimal mungkin. Namun, kami tidak luput dari segala kesalahan dan kekhilafan dalam menyusun makalah ini. Pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Yeni Anggraini, M.A yang telah memberikan tanggung jawab kepada kami untuk membuat suatu karya ilmiah sehingga dapat terselesaikan dengan maksimal. Untuk menyempurnakan makalah ini, kami dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak. Sehingga dikemudian hari kami dapat menyempurnakan makalah ini dan kami dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi semua pihak yang berkepentingan.










DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................                    1
DAFTAR ISI ........................................................................................             2
BAB I (Pendahuluan) ..........................................................................             3
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................              3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................              3
1.3 Tujuan...............................................................................................              4
BAB II (Pembahasan) .........................................................................              5
2.1 Jenis-Jenis Akhlak............................................................................              5
2.2 Sistem Penilaian Akhlak.................................................................. 8
2.3 Baik Buruk Akhlak dalam Ajaran Islam..........................................            16
BAB III (Penutup) ...............................................................................            18
3.1 Kesimpulan.......................................................................................            18
3.2 Saran.................................................................................................            18
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................               .     19















BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang Masalah
          Kata akhlak adalah bentuk jamak dari kata “Alkhulukul” dan kata yang terakhir ini mengandung segi-segi yang sesuai dengan kata “al-khalku” yang bermakna “kejadian”. Kedua kata tersebut berasal dari kata kerja “khalaka” yang mempunyai arti “menjadikan”.
          Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahmi.
          Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang dalam penjabarannya yang dilakukan hadits Muhammad saw. Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuarikan pada bagian terdahulu.
          Menurut ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an dan al-hadits. Jika kita perhatikan al-Qur’an maupun hadits dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada yang baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang baik, misalnya: al-Hasanah, Thayyibah, Khairah, karimah, Mahmudah, Azizah dan Al-Birra.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa saja jenis-jenis akhlak ?
2.      Bagaimana sistem penilaian akhlak ?
3.      Bagaimana baik buruk akhlak dalam ajaran islam?


1.3   Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu :
1.      Mengetahui jenis-jenis akhlak.
2.      Mengetahui sistem penilaian akhlak.
3.      Mengetahui bagaimana baik buruk akhlak dalam ajaran islam.


























BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis – Jenis Akhlak
Akhlak atau sistem perilaku merupakan tolok ukur perbuatan manusia yang terdapat acuan untuk menilai perbuatan tersebut baik atau buruk berdasarkan ajaran dari Allah. Akhlak tewujud melalui proses aplikasi sistem nilai atau norma yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis yang bersifat mengarahkan, membimbing dan membangun peradaban manusia.  Akhlak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu :

1.    Akhlak Mahmudah
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya.[[1]]
Adapun yang termasuk akhlak mahmudah antara lain :
a.       Syukur
          Ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukur harus melibatkan tiga dimensi yaitu hati, untuk ma’riffah dan mahabbah, lisan untuk memuja dan menyebut asma Allah dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk taat kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
          “dan ingatlah, ketika Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14: 7)
b.      Bertaqwa.
          Memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Seorang yang hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah, supaya tidak meninggalkannya. Dalam Firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam”(QS. Ali Imran 3: 102)
c.       Tawadhu’
          Tawadhu’ artinya rendah hati, kebalikan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih hebat dari orang orang lain, sementara orang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati berbeda dengan rendah diri, sekalipun dalam prakteknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya dihadapan orang lain, tetapi sikap tersebut lahir dari rasa tidak percaya diri. Sikap Tawadhu’ adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan Kemahakuasaan Allah atas semua hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang tidak punya apa-apa di hadapan Allah Swt.
          “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan”. (QS. An Nahl 16: 53)
d.      Shidiq
          Artinya benar atau jujur, lawan kata dari dusta atau bohong. Seorang muslim dituntut untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar hati, benar perkataan dan benar perbuatan.
e.       Pemaaf
          Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa harus menunggu orang yang bersalah itu meminta maaf kepada dirinya. Menurut Quraish shihab, tidak ditemukan satu ayatpun yang menganjurkan untuk meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.
          “… maafkanlah mereka dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya)” (QS. Al Maidah 5: 13).



2.    Akhlak madzmumah
Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.
Adapun yang termasuk akhlak madzmumah antara lain :
a.       Al-Nani’ah
          yaitu sifat egois, tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Oleh karenanya, dalam mengejar kepentingan pribadi, hendaknya memperhatikan kepentingan orang lain janganlah boros dan juga kikir, namun hendaknya berada di antaranya yaitu pemurah. Perhatikan firman Allah Swt dalam surat Al-Isra ayat 29 yang artinya: “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan janganlah pula engkau kembangkan seluas-luasnya, nanti engkau duduk tercela dan sengsara.”
b.      Al-Bukhlu
          yaitu kikir. Orang yang kikir, tidak mau membelanjakan hartanya, baik untuk dirinya, misalnya biar makan tidak baik dan bergizi, padahal uang ada, baik untuk kepentingan keluarganya, maupun untuk kepentingan orang banyak, yang merupakan zakat, infak atau sadakah. Bagi orang yang kikir, mendengar istilah-istilah tersebut bagaikan petir di siang hari. Sifat kikir ini dapat mempersempit pergaulan, sering menuduh orang tama’ (ingin diberi). Kemudian orang yang kikir itu apabila hartanya telah berkumpul, ia merasa kaya dan tidak lagi memerlukan bantuan orang lain yang juga lupa kepada pemberinya. Allah berfirman dalam surat al-Lail ayat 8-10 yang artinya, “Tetapi orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup, dan mendustakan yang baik, akan kami mudahkan baginya (jalan) kesukaran.”
c.       Khianat
          yaitu tidak menempati janji. Khianat ini lawan dari amanat, apabila amanat dapat melapangkan rezeki, maka khianat akan dapat menimbulkan kefakiran. Sifat khianat ini seringkali tidak nampak, sehingga kadang-kadang ada orang yang membela orang yang khianat karena ia tidak mengetahuinya. Allah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 107 yang artinya, “Dan janganlah engkau membela orang-orang yang khianat kepada dirinya sendiri, sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang-orang yang khianat dan berdosa.”
d.      Al-Gibah
          yaitu menggunjing atau mengumpat. Menggunjing adalah mengatakan keadaan orang lain dibelakangnya dengan celaan kepada orang-orang yang ada dimukanya, dengan tujuan untuk menjatuhkan nama orang tersebut atau tujuan lain, meskipun memang sebenarnya keburukan itu ada pada orang yang digunjingnya. Bila tidak ada, hal itu merupakan fitnah. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sebagian kecurigaan itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang, dan janganlah mempergunjingkan orang satu sama lain.”
          Masih banyak lagi akhlak tercela yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, misalnya: al-bagyu, yaitu lacut; al-gadab, yaitu pemarah; al-gurur, yaitu memperdayakan;al-hikdu, yaitu dendam; al-intihar, yaitu menjerumuskan diri; al-namimah, yaitu mengadu domba; dan lain sebagainya.
2.2 Sistem Penilaian Akhlak
          Naluri manusia paling kuat yang merupakan hidayah fitriyah adalah ingin mempertahankan hidupnya di dunia ini. Naluri ini dimiliki setiap manusia, meskipun dia sadar bahwa hidup ini fana dan sementara. Naluri mempertahankan hidup juga dimiliki oleh biantang.
          Paham materialisme berkeykinan bahwa kehidupan yang lebih baik dan kebahagiaan berpusat pada keempurnaan materi, termasuk jasad. Adapun aliran spiritualisme berkeyakinan bahwa kebahagiaan sangat tergantung pada kepuasan jiwa. Para filosof umumnya berpendapat bahwa kebahagiaan bias dicapai dengan kemampuan akal manusia. Akal merupakan perangkat penting untuk menggapai kebenaran dan kemuliaan.
          Umat Islam akan merasa bahagia jika mendapat keutamaan dari kehadiran Allah Swt. baik  dunia maupun akhirat.
          Berikut merupakan uraian system penilaian akhlak menurut beberpa madzhab, aliran, dan paham dalam Islam.
a.   Sistem Ahli Sunnah
          Ahlu sunnah waljama’ah mempunyai arti “ahlu” bermakna golongan dan “asunnah” bermakna segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW. Aljamaah ini banyak sekali yang memberi makna, antara lain golongan yang mayoritas umat Islam yang setia kepada pemimpin umat Islam. Dan adapula yang mengartikan Aljamaah sebagai golongan para sahabat Nabi. Jadi arti dari “ahlu sunnah walajamah” adalah golongan yang berpegang teguh pada Al-Qur’an , sunnah Rasulullah SAW, dan kesepakatan para mujtahid. [[2]]
          Sebelumnya ahli sunnah waljama’ah ini dipelopori oleh Abu Al-Husan Al-Asy’ari (260-320H/873-935M) dan Abu Mansyur Al-Maturidi (332H/943M). mereka membagi kajian ilmunya dengan cara menggali dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
          Segala awamir yang dima’rufkan Allah SWT adalah baik dan segala nawahi yang dimunkarkan Allah SWT adalah buruk. Tidak ada kebaikan atau keburukan secara absolute, tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah SWT. adapun yang bersifat absolute adalah kekuasaan dan keadilan Allah yang terletak pada iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib bagi Allah, karena apabila wajib maka kekuasaan-Nya tidak mutlak lagi. Ittulah sebabnya para ahli kalam membedakan antara sifat – sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil akal yang jumlahnya 13 atau 20 dengan asma’ul husna yang jumlahnya 99.

b.   Sistem Mu’tazilah
          Secara bahasa kata mu’tazilah berasal dari kata i’tazila yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
          Golongan pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan – lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
          Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan  teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat peristiwa tahkimMenurut Ahmad tafsir ada mu’tazilah yang lahir karena menghindari bentrokan politis dan ada yang lahir karena bentrokan pemikiran fanatik. [[3]]
          Ajaran pokok ini mempunyai tujuh bagian [[4]] :
1. Tentang sifat – sifat Allah.
2. Kedudukan Al-Qur’an
3. Melihat Allah di akhirat
4. Perbuatan manusia
5. Antropomorisme
6. Dosa besar
7. Keadilan Allah

Pancasila Mu’tazilah
          Ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-ushul al-khamsah, yang oleh Harun Nasution diistilahkan sebagai Pancasila Mu’tazilah.
1.      Al-Tauhid
          Yang berarti “pengesaan Tuhan”, merupakan prinsip yang paling uatama dan sekaligus merupakan intisari dari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin al-tauhid ini. Namun bagi aliran M’utazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari apa pun yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Hanya Tuhanlah satu – satunya yang Esa dan unik dan tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu hanya Dial ah yang qadim (terdahulu). Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan.
2.      Al’Adl (Tuhan Maha Adil)
          Ajaran tentang kadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
a.       Perbuatan manusia
          Menurut Mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan perbuatan sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.
b.      Berbuat baik dan terbaik
          Kewajiban Tuhanlah untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu tidak layak bagi Tuhan.
c.       Mengutus Rasul
          Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan – alasan sebagai berikut :
1.   Tuhan berlaku baik kepada manusia, dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2.   Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia. Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus Rasul.
3.   Tujuan diciptakannya manusia untuk beribdah adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil yaitu dengan cara mengutus Rasul.
3.      Al-Wa’ad wa al-Wa’id
          Ajaran ini berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi yang durhaka (al-ashl). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan bagi yang melakukan taubat nashuha pasti benar adanya.
4.      Al-Manzilah bain al-Manzilatain
          Inilah ajaran yang menyebabkan lahirnya madzhab ini, yakin berkenaan dengan status orang yang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat, dengan status bukan lagi Mukmin atau kafir, munafiq, tetapi fasik. Hanya saja bila belum bertaubat, dia akan dimasukan ke neraka dan kekal di sana, tetapi siksanya lebih ringan dibanding orang kafir.
5.      Al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al-Munkar
          Ajaran ini menekan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaiakan kepada kebenaran dan kebaikan. Dan ini merupakan kensekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan yang baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Ajaran ini sangat berpotensi menimbulkan kekerasan, kekacauan, dan kedzaliman. [[5]] Sejarah mencatat kekerasan yang pernah dilakukan Mu’tazilah ketika menyiarkan ajarannya, seperti tentang kemakhlukan Al_qur’an yang mengorbankan banyak ulama’.
          Ajaran ini bukan monopoi konsep Mu’tazilah. Fase tersebut sering digunakan di dalam Al-Qur’an. Arti asal ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya. Frase tersebut bararti seruan untuk berbuat seseuatu sesuai dengan keyakinan sebenar – benarnya  serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.
          Contoh lain secara kausalitas. Allah tidak ikut campur dalam kehendak alam dan kehendak manusia, tetapi ada hukum kausalitas yang berlaku bagi alam dan manusia, seperti terjadinya hujan.
          Di zaman ini mungkin yang mempunyai kemiripan dengan Mu’tazilah adalah kaum Muhammadiyah yang menggarap persoalan sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan.
          Menurut Mu’tazilah manusia bebas untuk bertabat, dan segala amal manusia dan di ganjar allah SWT seadil-adilnya dan seproporsional mungkin. Apabila manusia tidak bebas melakukan perbuatannya, ini berarti allah SWT tidak adil.
          Demikian pula apabila allah meminta pertanggungjawaban manusia atas amalnya. Jadi menurut pandangan penulis allah itu menyuruh kita berbuat baik dan melarang perbuatan yang dilarangnya.

c.       Sistem Jabariyah
          Landasan pemikiran madzhab ini adalah bahwa pada hakekatnya perbuatan seorang hamba disandarkan langsung kepada Allah. tidak diminta untuk taat tapi dipaksa untuk melakukan segala perbuatan di luar kehendak dan usahanya, maka Allah SWT menciptakan segala perbuatan sebagaimana Dia menciptakan seluruh materi. Jadi adanya pahala dan siksaan adalah paksaan.
          Para sejarawan telah banyak berbicara dan menjelaskan siapa yang sebenarnya terlebih dahulu memiliki pendapat di atas dan menyebarkannya. Disini kami tuliskan sedikit pendapat mengenai faham Jabariyah sebagai mana yang di tulis oleh Al-Murtadha dalam Al-Muriyah wa Al-’Amail.
          Ulama pertama , Abdullah Bin Abbas, ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah di kota Syam. Dia melontarkan kritik ”Mengapa kalian memerintahkan orang-orang untuk bertaqwa, padahal kalian menyesatkan mereka. Kalian melarang orang-orang berbuat maksiat tetapi kalian justru memperlihatkan kemaksiatan. Wahai putra-putra kaum munafik, penolong kaum zhalim, dan penjaga masjid kaum fasik, kalian hanya berdusta kepada Allah, kalian harus bertanggungjawab atas dosa-dosa kalian kepada Allah.”
          Ulama kedua, Hasan Al-Bashri, berbicara di kota Bashrah, ” Barang siapa yang tidak beriman kepada Allah serta qodho’ dan qodar-Nya, maka dia telah kafir. Sesungguhnya Allah tidak kurang apapun, meskipun ditaati ataupun didurhakai, karena Dia adalah Raja dari segala raja, dan Penguasa dari segala penguasa. Untuk itu, Allah memberi kebebasan kepada manusia: apakah mau taat atau durhaka. Jika Allah memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya, maka mereka tentu tidak akan mendapat pahala. Dan, andaikata mereka dipaksa untuk berbuat maksiat, maka mereka pasti tidak akan disikasa. Semua orang tidak dipaksa oleh kehendak Allah. Untuk itu, jika mereka taat kepada Allah, maka Dia pasti akan menebarkan Rahmat.”   
          Pendapat ini sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi npada awalnya hanya diucapkan kam musyrik sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Orang Islam ang pertama kali menyebarkan paham ini adalah Al-Ja’d bin Dirham. Dia menerima faham ini dari orang Yahudi di Syria. Kemudian disebarkan ke Bashrah, terutama kepada Al-Jahm bin Shafaran. Dalam kitab Syarah Al-’Uyun, Al-Jahm bin Shafwan menerima suatu ajaran dari Al-Ja’d bin Dirham yang kemudian dinamakan ajaran al-jahmiyah.sementara itu Al-Ja’d bin Dirham menerima ajaran tersebut dari Ibnu Sam’an, sedangkan Sam’an menerimanya dari Thalut bin A’shim al-Yahudi.
          Ajaran Al-Jahm bin Shafwan bukan merupakan aliran Jabariyah, akan tetapi mempunyai ajaran lain di antaranya:
a.       Al-Jahm beranggapan, tidak ada sesuatu apaun yang bersifat kekal.
b.      Keimanan itu merupakan ma’rifat sedangkan kekufuran merupakan kebodohan. Iman adalah pengetahuan dan kufur adalah kebodohan.
c.       Firman Allah itu bersifat baru bukan lama.
d.      Allah Swt tidak mengidentikan diri sebagai ”sesuatu” yang hidup bagaikan alam semesta.
e.       Al-Jahm membantah bahwa Allah Swt bisa dilihat kelak dihari kiamat
          Para ulama salaf dan kholaf telah membantah ajaran tersebut, seperti yang dilakukan hasan Al-Bashri dan sebelumnya Ibnu Abbas. Perlu diketahui ajaran Jabariyah banyak di ingkari oleh banyak kelompok ulam kalam, ahli fiqih, dan ahli hadist.
          Allah Swt berfirman,  aku akan memalingkan orang-orang yang menyombangkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasan-Ku.jika melihat ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika melihat petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya, tetapi jika melihat kesesatan, mereka justru mendekatinya. Hal itu terjadi karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami  dan selalu lalai darinya. Begitulah, banyak orang yang mencoba meniti jalan yang disangkanya terang, padahal sebenarnya sesat dan gelap gulita.


d.      Sistem Qodariyah
          Aliran ini dipelopori oleh Ghoilan Ad-Dimasyqi dan Ma’bad Al-Juhani. Qodiriyah berasal dari kata qodara (قَدَرَ) yang mengandung arti kemampuan    dan kekuatan. Kaum Qodariyah adalah golongan islam yang meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan mutlak dan kebebasan untuk menentukan segala macam perbuatan sesuai dengan keinginannya tanpa ada intervensi dari tuhan.[[6]] Jadi menurut Qodariyah manusia harus bebas menentukn nasibnya sendiri. Manusia beba memilih amal yang baik dan yang buruk, jadi kalau Allah maha adil mestinya memberi pahala orang yang beramal baik dan sebaliknya.
          Paham Qodariyah berlawanan dengan paham Jabariyah. Menurut paham Qodariyah, manusia harus bebas dan merdeka memilih amalnya sendiri.
          Untuk mengatasi kedua paham yang saling bertentangan , yaitu Qodariyah dan Jabariyah sebaiknya kita menyimak firman Allah dalam surah al-Ra’d [13] ayat 11,: 
          Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
          [767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah. [768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
e.      Sistem Shufiyah
          Paham sufiyah yang dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan akhlaq tersusun atas tiga fase:
1.      Fase takhalli atau  takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Takhliyah zhahiriyah  yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh macam anggota maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan, mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian, manusia melakukan Takhliyah bathiniyah yang didahului dengan taubat yaitu dengan cara Istigfar, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
2.      Fase Tahalli, mengisi jiwa seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan ibadat qolbi. Maka hiasilah diri nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan sifat siddiq.
3.      Fase Tajalli, adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah.[[7]] dimana fase ini telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil usaha  dari fase pertama dan kedua. Meskipun dalam diri manusia cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang pertama dan yang utama adalah  menjauhkan diri dari larangan Allah. Meninggalkan  larangan-Nya lebih berat dari pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi orang tua agar mendidik anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.

2.3 Baik Buruk Akhlak Dalam Ajaran Islam
          Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadits Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.
          Menurut ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun hadits dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya: Al-Hasanah, Thayyibah, Khairah, Karimah, Mahmudah, Azizah dan Birra.
          Al-Hasanah sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Raqb al-Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. AlHasanah selanjutnya dapat dibagi 3 bagian, pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu/keinginan, dan yang ketiga hasanah dari segi panca indera. Lawan dari hasanah adalah al-sayyiah, yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan rezki dan kemenangan. Sedangkan yang termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan dan keterbelakangan.[[8]] Pemakaian kata Al-Hasanah yang demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat Q.S. AlQashash ayat 84 yang berbunyi:
          Artinya: Barang siapa yang datang (membawa) kebaikan. Maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.[[9]]















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
          Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak atau sistem perilaku merupakan tolok ukur perbuatan manusia yang terdapat acuan untuk menilai perbuatan tersebut baik atau buruk berdasarkan ajaran dari Allah. Akhlak secara umum terbagi 2 yaitu Akhlak Mahmudah (akhlak terpuji) dan Akhlak Madzmumah (akhlak tercela). Sistem penilaian akhlak  antara lain : sistem ahli sunnah, sistem mu’tazilah, sistem jabariyah, sistem qodariyah, dan sistem shufiyah. Menurut ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits.

3.2 Saran
          Demikianlah pembahasan terhadap kajian akhlak. Semoga dari apa yang disajikan bisa membawa manfaat bagi penulis dan lebih-lebih kepada para pembaca. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dengan segala kelebihan dan kekurangannya, untuk itu apabila di dalam penyajian karya ilmiah mata kuliah “Akhlak Tasawuf” ini terdapat sesuatu yang lebih, maka semata-mata itu hanyalah berasal dari Allah SWT dan apabila terdapat sesuatu yang mengganjal hati para pembaca, maka itu adalah sebuah kesalahan pribadi dari kami. Untuk itu kami meminta maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang ada dan berharap kepada pembaca dan dosen bersangkutan untuk menegur kami bila ada kesalahan agar bisa kami perbaiki di kemudian hari. Semoga makalah ini bisa berguna bagi kita semua.





DAFTAR PUSTAKA
Elmubarok dkk, Zaim. 2011.Islam Rahmatan lil’alamin. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Al-Ghazali,Imam.1989.Pedoman Amaliah Ibadat.Semarang : CV.Wicaksana.
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga.2004.Pengantar Studi Akhlak.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Asmaran. 2002.Pengantar Studi Akhlak.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Yatimin,Abdullah.2007.Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an.Jakarta: Sinar Grafika Offest.
Al-Asfahani, Al-Rhaqib. Mu’jam Mufrodat Al-fadz al-Qur’an, Beirut : Dr. Al-Firk, tth.
M.Dkk, S.M. Imamudin.1994.Aliran Aliran Teologi Islam dan Ensiklopedia Islam.Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.



[1] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 158.

[2]  S.M. Imamudin M. Dkk, Aliran Aliran Teologi Islam dan Ensiklopedia Islam(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm 74-75.
[3] Sukardi, Kuliah – kuliah Tasawuf. (Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000), hlm 78.
[4] Op.cit.,hlm 80.
[5] Ibid.,hlm 86.
[6] Ibid.,hlm 89-90.
[7] Sukardi, Kuliah – kuliah Tasawuf. (Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000), hlm 122.

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Semarang : Kencana, 2010), hlm 65.
[9] Al-Rhaqib Al-Asfahani, Mu’jam Mufrodat Al-fadz al-Qur’an, (Beirut : Dr. Al-Firk, tth.) hlm. 117.