KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena
dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Jenis-jenis
akhlak, dan sistem penilaiannya serta baik buruk menurut ajaran islam”.
Makalah yang kami susun ini merupakan salah satu tugas mata kuliah AKHLAK
TASAWUF. Informasi atau materi yang kami paparkan diperoleh dari berbagai
sumber-sumber yakni dari berbagai buku dan ditambah berbagai redaksi dari
internet. Kami menyadari, makalah yang kami susun masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari berbagai pihak.
Sebagai manusia biasa, kami berusaha dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun, kami tidak
luput dari segala kesalahan dan kekhilafan dalam menyusun makalah ini. Pada
kesempatan ini dengan penuh rasa hormat kami haturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Yeni Anggraini,
M.A yang
telah memberikan tanggung jawab kepada kami untuk membuat suatu karya ilmiah sehingga
dapat terselesaikan dengan maksimal. Untuk menyempurnakan makalah ini, kami
dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
berbagai pihak. Sehingga dikemudian hari kami dapat menyempurnakan makalah ini
dan kami dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan. Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi semua
pihak yang berkepentingan.
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ........................................................................ 1
DAFTAR
ISI ........................................................................................ 2
BAB
I (Pendahuluan)
.......................................................................... 3
1.1 Latar Belakang
Masalah................................................................... 3
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................ 3
1.3
Tujuan............................................................................................... 4
BAB
II (Pembahasan) ......................................................................... 5
2.1 Jenis-Jenis
Akhlak............................................................................ 5
2.2 Sistem Penilaian
Akhlak.................................................................. 8
2.3 Baik Buruk Akhlak dalam Ajaran
Islam.......................................... 16
BAB
III (Penutup) ............................................................................... 18
3.1
Kesimpulan....................................................................................... 18
3.2 Saran................................................................................................. 18
DAFTAR
PUSTAKA ......................................................................... . 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah
Kata
akhlak adalah bentuk jamak dari kata “Alkhulukul” dan kata yang terakhir ini
mengandung segi-segi yang sesuai dengan kata “al-khalku” yang bermakna
“kejadian”. Kedua kata tersebut berasal dari kata kerja “khalaka” yang
mempunyai arti “menjadikan”.
Akhlak
merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat
yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti
sifat sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci karena dendam,
iri dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahmi.
Ajaran
Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang dalam
penjabarannya yang dilakukan hadits Muhammad saw. Masalah akhlak dalam ajaran
Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah
diuarikan pada bagian terdahulu.
Menurut
ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an
dan al-hadits. Jika kita perhatikan al-Qur’an maupun hadits dapat dijumpai
berbagai istilah yang mengacu kepada yang baik, dan adapula istilah yang
mengacu kepada yang baik, misalnya: al-Hasanah, Thayyibah, Khairah, karimah,
Mahmudah, Azizah dan Al-Birra.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1.
Apa saja jenis-jenis akhlak ?
2. Bagaimana
sistem penilaian akhlak ?
3.
Bagaimana baik buruk akhlak dalam ajaran islam?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu :
1.
Mengetahui jenis-jenis akhlak.
2. Mengetahui sistem
penilaian akhlak.
3.
Mengetahui bagaimana baik buruk akhlak dalam ajaran
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jenis –
Jenis Akhlak
Akhlak atau
sistem perilaku merupakan tolok ukur perbuatan manusia yang terdapat acuan
untuk menilai perbuatan tersebut baik atau buruk berdasarkan ajaran dari Allah.
Akhlak tewujud melalui proses aplikasi sistem nilai atau norma yang bersumber
dari Al-Quran dan Hadis yang bersifat mengarahkan, membimbing dan membangun
peradaban manusia. Akhlak
dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu :
1. Akhlak Mahmudah
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia
dan terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah
digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela
tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan
mencintainya.[[1]]
Adapun yang termasuk akhlak mahmudah
antara lain :
a. Syukur
Ialah
memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukur harus
melibatkan tiga dimensi yaitu hati, untuk ma’riffah dan mahabbah, lisan untuk
memuja dan menyebut asma Allah dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang
diterima sebagai sarana untuk taat kepada Allah dan menahan diri dari maksiat
kepada-Nya.
“dan
ingatlah, ketika Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14: 7)
b. Bertaqwa.
Memelihara
diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Seorang yang hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah,
supaya tidak meninggalkannya. Dalam Firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam”(QS. Ali Imran 3:
102)
c. Tawadhu’
Tawadhu’
artinya rendah hati, kebalikan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah
hati tidak memandang dirinya lebih hebat dari orang orang lain, sementara orang
sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati berbeda dengan rendah
diri, sekalipun dalam prakteknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan
dirinya dihadapan orang lain, tetapi sikap tersebut lahir dari rasa tidak
percaya diri. Sikap Tawadhu’ adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan
Kemahakuasaan Allah atas semua hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah yang
tidak punya apa-apa di hadapan Allah Swt.
“Dan
apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila
kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan”. (QS. An Nahl 16: 53)
d. Shidiq
Artinya
benar atau jujur, lawan kata dari dusta atau bohong. Seorang muslim dituntut
untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar hati, benar
perkataan dan benar perbuatan.
e. Pemaaf
Pemaaf
adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa harus
menunggu orang yang bersalah itu meminta maaf kepada dirinya. Menurut Quraish
shihab, tidak ditemukan satu ayatpun yang menganjurkan untuk meminta maaf,
tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.
“…
maafkanlah mereka dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah senang kepada
orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan
kepadanya)” (QS. Al Maidah 5: 13).
2. Akhlak madzmumah
Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak
madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni
segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan
kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah
kepada kebaikan.
Adapun yang termasuk akhlak
madzmumah antara lain :
a.
Al-Nani’ah
yaitu sifat
egois, tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Manusia sebagai makhluk
pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Oleh karenanya, dalam mengejar
kepentingan pribadi, hendaknya memperhatikan kepentingan orang lain janganlah
boros dan juga kikir, namun hendaknya berada di antaranya yaitu pemurah.
Perhatikan firman Allah Swt dalam surat Al-Isra ayat 29 yang artinya: “Dan janganlah engkau jadikan
tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan janganlah pula engkau kembangkan
seluas-luasnya, nanti engkau duduk tercela dan sengsara.”
b.
Al-Bukhlu
yaitu kikir.
Orang yang kikir, tidak mau membelanjakan hartanya, baik untuk dirinya,
misalnya biar makan tidak baik dan bergizi, padahal uang ada, baik untuk
kepentingan keluarganya, maupun untuk kepentingan orang banyak, yang merupakan
zakat, infak atau sadakah. Bagi orang yang kikir, mendengar istilah-istilah
tersebut bagaikan petir di siang hari. Sifat kikir ini dapat mempersempit
pergaulan, sering menuduh orang tama’ (ingin diberi). Kemudian orang yang
kikir itu apabila hartanya telah berkumpul, ia merasa kaya dan tidak lagi
memerlukan bantuan orang lain yang juga lupa kepada pemberinya. Allah berfirman
dalam surat al-Lail ayat 8-10 yang artinya, “Tetapi
orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup, dan mendustakan yang baik,
akan kami mudahkan baginya (jalan) kesukaran.”
c.
Khianat
yaitu tidak
menempati janji. Khianat ini lawan dari amanat, apabila amanat dapat
melapangkan rezeki, maka khianat akan dapat menimbulkan kefakiran. Sifat
khianat ini seringkali tidak nampak, sehingga kadang-kadang ada orang yang
membela orang yang khianat karena ia tidak mengetahuinya. Allah berfirman dalam
surat al-Nisa ayat 107 yang artinya, “Dan
janganlah engkau membela orang-orang yang khianat kepada dirinya sendiri,
sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang-orang yang khianat dan berdosa.”
d.
Al-Gibah
yaitu
menggunjing atau mengumpat. Menggunjing adalah mengatakan keadaan orang lain
dibelakangnya dengan celaan kepada orang-orang yang ada dimukanya, dengan
tujuan untuk menjatuhkan nama orang tersebut atau tujuan lain, meskipun memang
sebenarnya keburukan itu ada pada orang yang digunjingnya. Bila tidak ada, hal
itu merupakan fitnah. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sebagian kecurigaan itu dosa. Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang, dan janganlah mempergunjingkan orang
satu sama lain.”
Masih banyak
lagi akhlak tercela yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, misalnya: al-bagyu, yaitu lacut; al-gadab, yaitu pemarah; al-gurur, yaitu
memperdayakan;al-hikdu, yaitu dendam; al-intihar,
yaitu menjerumuskan diri; al-namimah,
yaitu mengadu domba; dan lain sebagainya.
2.2
Sistem Penilaian Akhlak
Naluri manusia
paling kuat yang merupakan hidayah
fitriyah adalah ingin mempertahankan hidupnya di dunia ini. Naluri ini
dimiliki setiap manusia, meskipun dia sadar bahwa hidup ini fana dan sementara.
Naluri mempertahankan hidup juga dimiliki oleh biantang.
Paham
materialisme berkeykinan bahwa kehidupan yang lebih baik dan kebahagiaan
berpusat pada keempurnaan materi, termasuk jasad. Adapun aliran spiritualisme berkeyakinan bahwa
kebahagiaan sangat tergantung pada kepuasan jiwa. Para filosof umumnya
berpendapat bahwa kebahagiaan bias dicapai dengan kemampuan akal manusia. Akal
merupakan perangkat penting untuk menggapai kebenaran dan kemuliaan.
Umat Islam akan
merasa bahagia jika mendapat keutamaan dari kehadiran Allah Swt. baik dunia maupun akhirat.
Berikut
merupakan uraian system penilaian akhlak menurut beberpa madzhab, aliran, dan
paham dalam Islam.
a. Sistem
Ahli Sunnah
Ahlu
sunnah waljama’ah mempunyai arti “ahlu” bermakna golongan dan “asunnah”
bermakna segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW. Aljamaah ini
banyak sekali yang memberi makna, antara lain golongan yang mayoritas umat
Islam yang setia kepada pemimpin umat Islam. Dan adapula yang mengartikan
Aljamaah sebagai golongan para sahabat Nabi. Jadi arti dari “ahlu sunnah
walajamah” adalah golongan yang berpegang teguh pada Al-Qur’an , sunnah Rasulullah
SAW, dan kesepakatan para mujtahid. [[2]]
Sebelumnya ahli
sunnah waljama’ah ini dipelopori oleh Abu Al-Husan Al-Asy’ari
(260-320H/873-935M) dan Abu Mansyur Al-Maturidi (332H/943M). mereka membagi
kajian ilmunya dengan cara menggali dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Segala awamir yang dima’rufkan Allah SWT adalah
baik dan segala nawahi yang
dimunkarkan Allah SWT adalah buruk. Tidak ada kebaikan atau keburukan secara
absolute, tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah SWT. adapun yang
bersifat absolute adalah kekuasaan dan keadilan Allah yang terletak pada
iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib bagi Allah, karena apabila wajib maka
kekuasaan-Nya tidak mutlak lagi. Ittulah sebabnya para ahli kalam membedakan
antara sifat – sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil akal
yang jumlahnya 13 atau 20 dengan asma’ul
husna yang jumlahnya 99.
b. Sistem Mu’tazilah
Secara bahasa
kata mu’tazilah berasal dari kata i’tazila yang berarti “berpisah” atau
“memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan
pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh
sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam
menyikapi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan – lawannya, terutama
Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan
kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij
dan Murji’ah akibat peristiwa tahkim. Menurut Ahmad tafsir ada mu’tazilah yang lahir karena menghindari
bentrokan politis dan ada yang lahir karena bentrokan pemikiran fanatik. [[3]]
1. Tentang sifat –
sifat Allah.
2. Kedudukan
Al-Qur’an
3. Melihat Allah
di akhirat
4. Perbuatan
manusia
5. Antropomorisme
6. Dosa besar
7. Keadilan Allah
Pancasila Mu’tazilah
Ajaran
Mu’tazilah dikenal dengan al-ushul
al-khamsah, yang oleh Harun Nasution diistilahkan sebagai Pancasila
Mu’tazilah.
1.
Al-Tauhid
Yang berarti
“pengesaan Tuhan”, merupakan prinsip yang paling uatama dan sekaligus merupakan
intisari dari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya setiap madzhab teologis dalam Islam
memegang doktrin al-tauhid ini. Namun
bagi aliran M’utazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus
disucikan dari apa pun yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Hanya Tuhanlah
satu – satunya yang Esa dan unik dan tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh
karena itu hanya Dial ah yang qadim
(terdahulu). Bila ada yang qadim
lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud
al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan.
2.
Al’Adl (Tuhan Maha Adil)
Ajaran tentang
kadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan manusia
Menurut
Mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan perbuatan sendiri terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.
b. Berbuat baik dan terbaik
Kewajiban
Tuhanlah untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak
mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan
penganiaya, sesuatu tidak layak bagi Tuhan.
c. Mengutus Rasul
Mengutus Rasul
kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan – alasan sebagai berikut
:
1. Tuhan berlaku baik kepada manusia, dan hal
itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban
Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia. Cara terbaik untuk maksud
tersebut adalah dengan mengutus Rasul.
3. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribdah
adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil yaitu dengan cara mengutus
Rasul.
3.
Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Ajaran ini
berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana tidak akan
melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya
sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa
neraka bagi yang durhaka (al-ashl).
Begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan bagi yang melakukan taubat nashuha pasti benar adanya.
4.
Al-Manzilah
bain al-Manzilatain
Inilah ajaran
yang menyebabkan lahirnya madzhab ini, yakin berkenaan dengan status orang yang
beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat, dengan status
bukan lagi Mukmin atau kafir, munafiq, tetapi fasik. Hanya saja bila belum
bertaubat, dia akan dimasukan ke neraka dan kekal di sana, tetapi siksanya
lebih ringan dibanding orang kafir.
5.
Al-‘Amr bi
al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al-Munkar
Ajaran ini
menekan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaiakan kepada kebenaran dan
kebaikan. Dan ini merupakan kensekuensi logis dari keimanan seseorang.
Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan yang baik, diantaranya
dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Ajaran ini
sangat berpotensi menimbulkan kekerasan, kekacauan, dan kedzaliman. [[5]] Sejarah
mencatat kekerasan yang pernah dilakukan Mu’tazilah ketika menyiarkan
ajarannya, seperti tentang kemakhlukan Al_qur’an yang mengorbankan banyak
ulama’.
Ajaran ini
bukan monopoi konsep Mu’tazilah. Fase tersebut sering digunakan di dalam
Al-Qur’an. Arti asal ma’ruf adalah
apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan
dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf
adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya. Frase tersebut bararti seruan untuk
berbuat seseuatu sesuai dengan keyakinan sebenar – benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya
perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.
Contoh lain
secara kausalitas. Allah tidak ikut campur dalam kehendak alam dan kehendak
manusia, tetapi ada hukum kausalitas yang berlaku bagi alam dan manusia,
seperti terjadinya hujan.
Di zaman ini
mungkin yang mempunyai kemiripan dengan Mu’tazilah adalah kaum Muhammadiyah
yang menggarap persoalan sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan.
Menurut Mu’tazilah manusia
bebas untuk bertabat, dan segala amal manusia dan di ganjar allah SWT
seadil-adilnya dan seproporsional mungkin. Apabila manusia tidak bebas
melakukan perbuatannya, ini berarti allah SWT tidak adil.
Demikian pula
apabila allah meminta pertanggungjawaban manusia atas amalnya. Jadi menurut
pandangan penulis allah itu menyuruh kita berbuat baik dan melarang perbuatan
yang dilarangnya.
c.
Sistem Jabariyah
Landasan pemikiran madzhab ini adalah
bahwa pada hakekatnya perbuatan seorang hamba disandarkan langsung kepada
Allah. tidak diminta untuk taat tapi dipaksa untuk melakukan segala perbuatan
di luar kehendak dan usahanya, maka Allah SWT menciptakan segala perbuatan
sebagaimana Dia menciptakan seluruh materi. Jadi adanya pahala dan siksaan adalah paksaan.
Para
sejarawan telah banyak berbicara dan menjelaskan siapa yang sebenarnya terlebih
dahulu memiliki pendapat di atas dan menyebarkannya. Disini kami tuliskan
sedikit pendapat mengenai faham Jabariyah sebagai mana yang di tulis oleh
Al-Murtadha dalam Al-Muriyah wa Al-’Amail.
Ulama pertama ,
Abdullah Bin Abbas, ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah di kota
Syam. Dia melontarkan kritik ”Mengapa kalian memerintahkan orang-orang untuk
bertaqwa, padahal kalian menyesatkan mereka. Kalian melarang orang-orang
berbuat maksiat tetapi kalian justru memperlihatkan kemaksiatan. Wahai
putra-putra kaum munafik, penolong kaum zhalim, dan penjaga masjid kaum fasik,
kalian hanya berdusta kepada Allah, kalian harus bertanggungjawab atas
dosa-dosa kalian kepada Allah.”
Ulama kedua, Hasan
Al-Bashri, berbicara di kota Bashrah, ” Barang siapa yang tidak beriman
kepada Allah serta qodho’ dan qodar-Nya, maka dia telah kafir.
Sesungguhnya Allah tidak kurang apapun, meskipun ditaati ataupun didurhakai,
karena Dia adalah Raja dari segala raja, dan Penguasa dari segala penguasa.
Untuk itu, Allah memberi kebebasan kepada manusia: apakah mau taat atau
durhaka. Jika Allah memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya, maka mereka
tentu tidak akan mendapat pahala. Dan, andaikata mereka dipaksa untuk berbuat
maksiat, maka mereka pasti tidak akan disikasa. Semua orang tidak dipaksa oleh
kehendak Allah. Untuk itu, jika mereka taat kepada Allah, maka Dia pasti akan
menebarkan Rahmat.”
Pendapat ini
sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi npada awalnya
hanya diucapkan kam musyrik sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Orang Islam
ang pertama kali menyebarkan paham ini adalah Al-Ja’d bin Dirham. Dia menerima
faham ini dari orang Yahudi di Syria. Kemudian disebarkan ke Bashrah, terutama
kepada Al-Jahm bin Shafaran. Dalam kitab Syarah Al-’Uyun, Al-Jahm bin Shafwan
menerima suatu ajaran dari Al-Ja’d bin Dirham yang kemudian dinamakan ajaran
al-jahmiyah.sementara itu Al-Ja’d bin Dirham menerima ajaran tersebut dari Ibnu
Sam’an, sedangkan Sam’an menerimanya dari Thalut bin A’shim al-Yahudi.
Ajaran Al-Jahm
bin Shafwan bukan merupakan aliran Jabariyah, akan tetapi mempunyai ajaran lain
di antaranya:
a.
Al-Jahm
beranggapan, tidak ada sesuatu apaun yang bersifat kekal.
b. Keimanan itu
merupakan ma’rifat sedangkan kekufuran merupakan kebodohan. Iman adalah
pengetahuan dan kufur adalah kebodohan.
c.
Firman Allah
itu bersifat baru bukan lama.
d.
Allah Swt tidak
mengidentikan diri sebagai ”sesuatu” yang hidup bagaikan alam semesta.
e.
Al-Jahm
membantah bahwa Allah Swt bisa dilihat kelak dihari kiamat
Para ulama
salaf dan kholaf telah membantah ajaran tersebut, seperti yang dilakukan hasan
Al-Bashri dan sebelumnya Ibnu Abbas. Perlu diketahui ajaran Jabariyah banyak di
ingkari oleh banyak kelompok ulam kalam, ahli fiqih, dan ahli hadist.
Allah Swt
berfirman, aku akan memalingkan
orang-orang yang menyombangkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasan-Ku.jika melihat ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya.
Dan jika melihat petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya, tetapi jika melihat
kesesatan, mereka justru mendekatinya. Hal itu terjadi karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan selalu
lalai darinya. Begitulah, banyak orang yang mencoba meniti jalan yang
disangkanya terang, padahal sebenarnya sesat dan gelap gulita.
d. Sistem
Qodariyah
Aliran
ini dipelopori oleh Ghoilan Ad-Dimasyqi dan Ma’bad Al-Juhani. Qodiriyah berasal
dari kata qodara (قَدَرَ) yang
mengandung arti kemampuan dan kekuatan. Kaum
Qodariyah adalah golongan islam yang meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan
mutlak dan kebebasan untuk menentukan segala macam perbuatan sesuai dengan
keinginannya tanpa ada intervensi dari tuhan.[[6]] Jadi menurut
Qodariyah manusia harus bebas menentukn nasibnya sendiri. Manusia beba memilih
amal yang baik dan yang buruk, jadi kalau Allah maha adil mestinya memberi
pahala orang yang beramal baik dan sebaliknya.
Paham Qodariyah
berlawanan dengan paham Jabariyah. Menurut paham Qodariyah, manusia harus bebas
dan merdeka memilih amalnya sendiri.
Untuk mengatasi
kedua paham yang saling bertentangan , yaitu Qodariyah dan Jabariyah sebaiknya
kita menyimak firman Allah dalam surah al-Ra’d [13] ayat 11,:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang
tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat
amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang
menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah. [768] Tuhan tidak
akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran
mereka.
e. Sistem
Shufiyah
Paham sufiyah
yang dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan akhlaq tersusun atas tiga
fase:
1. Fase takhalli atau takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat
duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Takhliyah zhahiriyah yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh
macam anggota maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan,
mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian, manusia melakukan Takhliyah
bathiniyah yang didahului dengan taubat yaitu dengan cara Istigfar, menyesal,
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
2. Fase Tahalli,
mengisi jiwa seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan ibadat qolbi. Maka
hiasilah diri nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan sifat siddiq.
3. Fase Tajalli,
adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah.[[7]] dimana
fase ini telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil usaha dari fase pertama dan kedua. Meskipun dalam
diri manusia cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang pertama dan yang
utama adalah menjauhkan diri dari
larangan Allah. Meninggalkan
larangan-Nya lebih berat dari pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini
terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi orang tua agar mendidik
anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.
2.3 Baik Buruk
Akhlak Dalam Ajaran Islam
Ajaran
Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang dalam
penjabarannya dilakukan oleh hadits Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran
Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah
diuraikan pada bagian terdahulu.
Menurut
ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun hadits dapat dijumpai
berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu
kepada yang baik misalnya: Al-Hasanah, Thayyibah, Khairah, Karimah, Mahmudah,
Azizah dan Birra.
Al-Hasanah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Raqb al-Asfahani adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. AlHasanah
selanjutnya dapat dibagi 3 bagian, pertama hasanah dari segi akal, kedua dari
segi hawa nafsu/keinginan, dan yang ketiga hasanah dari segi panca indera.
Lawan dari hasanah adalah al-sayyiah, yang termasuk al-hasanah misalnya
keuntungan, kelapangan rezki dan kemenangan. Sedangkan yang termasuk al-sayyiah
misalnya kesempitan, kelaparan dan keterbelakangan.[[8]]
Pemakaian kata Al-Hasanah yang demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat Q.S.
AlQashash ayat 84 yang berbunyi:
Artinya:
Barang siapa yang datang (membawa) kebaikan. Maka baginya (pahala) yang lebih
baik daripada kebaikannya itu; dan Barangsiapa yang datang dengan (membawa)
kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah
mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka
kerjakan.[[9]]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak atau sistem perilaku merupakan tolok
ukur perbuatan manusia yang terdapat acuan untuk menilai perbuatan tersebut
baik atau buruk berdasarkan ajaran dari Allah. Akhlak secara umum terbagi 2
yaitu Akhlak Mahmudah (akhlak terpuji) dan Akhlak Madzmumah (akhlak tercela).
Sistem penilaian akhlak antara lain :
sistem ahli sunnah, sistem mu’tazilah, sistem jabariyah, sistem qodariyah, dan
sistem shufiyah. Menurut
ajaran Islam penentu baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
3.2
Saran
Demikianlah
pembahasan
terhadap kajian akhlak. Semoga dari apa yang disajikan bisa membawa manfaat
bagi penulis dan lebih-lebih
kepada para pembaca. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dengan segala
kelebihan dan kekurangannya, untuk itu apabila di dalam penyajian karya ilmiah
mata kuliah “Akhlak Tasawuf” ini terdapat sesuatu yang lebih, maka semata-mata
itu hanyalah berasal dari Allah SWT dan apabila terdapat sesuatu yang
mengganjal hati para pembaca, maka itu adalah sebuah kesalahan pribadi dari kami. Untuk itu kami meminta maaf yang
sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang ada dan berharap kepada pembaca dan dosen bersangkutan untuk menegur kami
bila ada kesalahan agar bisa kami perbaiki di kemudian hari. Semoga makalah ini
bisa berguna bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Elmubarok dkk, Zaim. 2011.Islam
Rahmatan lil’alamin. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Al-Ghazali,Imam.1989.Pedoman
Amaliah Ibadat.Semarang : CV.Wicaksana.
Zahruddin AR dan
Hasanuddin Sinaga.2004.Pengantar Studi Akhlak.Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Asmaran. 2002.Pengantar Studi
Akhlak.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Yatimin,Abdullah.2007.Studi Akhlak
Dalam Perspektif Al-Qur’an.Jakarta: Sinar Grafika Offest.
Al-Asfahani, Al-Rhaqib. Mu’jam
Mufrodat Al-fadz al-Qur’an, Beirut : Dr. Al-Firk, tth.
M.Dkk, S.M. Imamudin.1994.Aliran Aliran Teologi Islam
dan Ensiklopedia
Islam.Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
[1] Zahruddin AR dan Hasanuddin
Sinaga, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 158.
[2] S.M. Imamudin M. Dkk, Aliran Aliran
Teologi Islam dan Ensiklopedia Islam(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm 74-75.
[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Semarang
: Kencana, 2010), hlm 65.
[9] Al-Rhaqib Al-Asfahani, Mu’jam
Mufrodat Al-fadz al-Qur’an, (Beirut : Dr. Al-Firk, tth.) hlm. 117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar